Laman

Sabtu, 17 Juli 2010

MEMBANGUN BENGAWAN SOLO MASA KINI

Menarik melihat geliat Kota Solo lima tahun terakhir dalam membangun. Salah satunya rencana pembangunan tiga apartemen, yakni Solo Paragon di bekas RSUD dr Moewardi di Mangkubumen, Solo Center Point di kawasan Purwosari, dan Kusuma Mulia Tower di Ngapeman.

Selain rencana hadirnya hunian eksklusif itu, penataan kota yang apik seperti pembangunan city walk dan penataan PKL dengan tertib menjadi salah satu tanda bagaimana Kota Solo giat mbangun kutha. Selain itu, mimpi Kota Solo yang ingin menjadi kota Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) City juga menjadi salah satu pertanda bagaimana Kota Solo memanfaatkan potensi pariwisata untuk kemajuan ekonominya.

MICE City merupakan konsep pengembangan kota dengan menjadikan kota itu menjadi ajang penyelenggaraan berbagai event bersifat regional, nasional, maupun internasional. Pengembangan MICE City secara langsung maupun tidak langsung akan menghasilkan efek pengganda bagi perekonomian melalui sektor perdagangan, hotel, restoran, dan jasa yang ditalikan dengan sektor pariwisata. Penghubung

Geliat perkembangan Kota Solo didukung pembangunan jalan tol Semarang-Solo, sebagai satu bagian dari jalur trans-Jawa sepanjang sekitar 76 kilometer. Pembangunan yang baru memasuki seksi I Semarang-Ungaran sepanjang lebih kurang 10,9 km ini akan menjadikan Solo masa depan dengan geliat ekonomi yang lebih maju dari sekarang.

Selain Solo, daerah yang akan menerima manfaat tol Semarang-Solo adalah daerah hinterland Solo seperti Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Boyolali. Pergerakan barang, jasa, dan manusia akan lebih mudah, terutama barang-barang berorientasi ekspor mengingat di Kota Semarang terdapat Pelabuhan Tanjung Mas.

Selain Solo serta daerah hinterland-nya dan Kota Semarang sendiri, pembangunan tol Semarang-Solo juga diperkirakan berdampak bagi perekonomian Jawa Tengah secara keseluruhan. Daerah selatan Jateng (sekitar Solo) diharapkan berkembang ekonominya sehingga persebaran pertumbuhan ekonomi tidak terkonsentrasi di pantura. Tahun 2007, daerah penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) Jateng terbesar adalah kabupaten/kota yang ada di jalur pantura.

Daerah itu Kota Semarang (13,41 persen, Kabupaten Kudus (8,32 persen), Kabupaten Semarang (3,60 persen), serta Kabupaten Brebes (3,52 persen). Selain keempat daerah di atas, sumbangan terhadap PDBR Jateng berada di bawah 3,5 persen, kecuali Kabupaten Cilacap (8,23 persen) (BPS, Provinsi Jateng).

Masa lalu

Ada pertanyaan yang muncul terkait pembangunan jalur trans-Jawa. Jika seandainya jalur trans-Jawa yang menghubungkan Semarang, Solo, dan Surabaya sudah terbangun dan siap dipakai, apakah Solo masih bisa “dekat” dengan Kota Semarang? Apakah dampak pengganda kegiatan ekonomi Kota Solo akan lebih banyak dirasakan Kota Semarang beserta kota-kota yang dilalui tol Semarang-Solo di wilayah Jateng seperti Boyolali, Kota Salatiga, dan Kabupaten Semarang?

Pertanyaan ini muncul terkait sejarah masyarakat dan geomorfologi kota serta daerah sekitarnya yang memiliki hubungan historis dengan Jawa Timur. Ketika Bengawan Solo dimanfaatkan sebagai jalur transportasi Kerajaan Pajang (daerah Boyolali-Klaten sekarang) dan Mataram Islam (sebelum terpecah), masyarakat di hulu Bengawan Solo telah memiliki hubungan perdagangan dengan orang-orang di Gresik dan Surabaya dan daerah-daerah yang dilalui Sungai Bengawan Solo.

Sejarah mencatat, dalam masa jayanya, Pajang memegang hegemoni atas 10 daerah lain yang tersebar di Jateng dan Jatim: wilayah Pajang sendiri (Boyolali-Surakarta-Klaten-Sukoharjo), Surabaya, Tuban, Pati, Pemalang, Tegal, Madiun, Kediri, Banyumas, Kedu, Mataram dan Demak. (Satyana, 2009).

Masa depan

Secara administratif, Kota Solo masuk ke dalam wilayah Jateng. Akan tetapi, secara geografis ditambah dengan kaitan sejarah masa lalu, Kota Solo lebih cenderung ke Jatim dan Yogyakarta daripada ke Kota Semarang. Kaitan sejarah inilah yang harus diantisipasi agar sebagian besar efek pengganda kegiatan ekonomi di Solo tidak lari ke luar Jateng.

Bisa jadi setelah jalur tol Solo-Surabaya yang melewati Ngawi, Kertosono, dan Mojokerto, kegiatan ekonomi Kota Solo akan lebih terseret ke arah timur, seperti ketika Bengawan Solo masih berfungsi sebagai salah satu jalur transportasi. Tidak salah memang jika kegiatan ekonomi Solo cenderung ke arah timur, tetapi lebih baik jika bisa dimanfaatkan wilayah di Jateng.

Harus ada upaya-upaya nyata Pemerintah Provinsi Jateng agar kegiatan ekonomi Kota Solo memberi efek pengganda yang besar bagi perekonomian Jateng, terutama daerah selatan. Salah satu yang bisa dilakukan menjadikan daerah-daerah hinterland sebagai penyokong utama kegiatan ekonomi Kota Surakarta.

Impian menjadi MICE City bagi kota Solo harus dijadikan peluang daerah hinterland seperti Boyolali, Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, dan Klaten untuk menumbuhkan hubungan timbal balik antara hinterland dan pusat pertumbuhan. Integrasi paket wisata bisa menjadi jurus andal dalam menumbuhkan hubungan timbal balik itu.

Seperti paket wisata kota lama Semarang-Ambarawa-Solo bagi turis- turis asing yang hendak melihat peninggalan sejarah Belanda. Wisata kebudayaan Borobudur-Yogyakarta-Prambanan-Solo bisa dijadikan alternatif lain dalam membangun hubungan timbal balik tersebut.

Pemangku kepentingan di Jateng harus benar-benar menjadikan tol Semarang-Solo menjadi Bengawan Solo masa kini yang menghubungkan Solo dengan daerah sekitar dan serta Kota Semarang dengan perencanaan matang sejak dini. Jangan sampai kebesaran Bengawan Solo masa lalu benar-benar menjelma ke dalam tol Solo-Surabaya di masa depan.

*)Pernah dimuat di Rubrik Forum KOMPAS Jawa Tengah, 23/02/2010


Menarik melihat geliat Kota Solo lima tahun terakhir dalam membangun. Salah satunya rencana pembangunan tiga apartemen, yakni Solo Paragon di bekas RSUD dr Moewardi di Mangkubumen, Solo Center Point di kawasan Purwosari, dan Kusuma Mulia Tower di Ngapeman.

Selain rencana hadirnya hunian eksklusif itu, penataan kota yang apik seperti pembangunan city walk dan penataan PKL dengan tertib menjadi salah satu tanda bagaimana Kota Solo giat mbangun kutha. Selain itu, mimpi Kota Solo yang ingin menjadi kota Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) City juga menjadi salah satu pertanda bagaimana Kota Solo memanfaatkan potensi pariwisata untuk kemajuan ekonominya.

MICE City merupakan konsep pengembangan kota dengan menjadikan kota itu menjadi ajang penyelenggaraan berbagai event bersifat regional, nasional, maupun internasional. Pengembangan MICE City secara langsung maupun tidak langsung akan menghasilkan efek pengganda bagi perekonomian melalui sektor perdagangan, hotel, restoran, dan jasa yang ditalikan dengan sektor pariwisata. Penghubung

Geliat perkembangan Kota Solo didukung pembangunan jalan tol Semarang-Solo, sebagai satu bagian dari jalur trans-Jawa sepanjang sekitar 76 kilometer. Pembangunan yang baru memasuki seksi I Semarang-Ungaran sepanjang lebih kurang 10,9 km ini akan menjadikan Solo masa depan dengan geliat ekonomi yang lebih maju dari sekarang.

Selain Solo, daerah yang akan menerima manfaat tol Semarang-Solo adalah daerah hinterland Solo seperti Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Boyolali. Pergerakan barang, jasa, dan manusia akan lebih mudah, terutama barang-barang berorientasi ekspor mengingat di Kota Semarang terdapat Pelabuhan Tanjung Mas.

Selain Solo serta daerah hinterland-nya dan Kota Semarang sendiri, pembangunan tol Semarang-Solo juga diperkirakan berdampak bagi perekonomian Jawa Tengah secara keseluruhan. Daerah selatan Jateng (sekitar Solo) diharapkan berkembang ekonominya sehingga persebaran pertumbuhan ekonomi tidak terkonsentrasi di pantura. Tahun 2007, daerah penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) Jateng terbesar adalah kabupaten/kota yang ada di jalur pantura.

Daerah itu Kota Semarang (13,41 persen, Kabupaten Kudus (8,32 persen), Kabupaten Semarang (3,60 persen), serta Kabupaten Brebes (3,52 persen). Selain keempat daerah di atas, sumbangan terhadap PDBR Jateng berada di bawah 3,5 persen, kecuali Kabupaten Cilacap (8,23 persen) (BPS, Provinsi Jateng).

Masa lalu

Ada pertanyaan yang muncul terkait pembangunan jalur trans-Jawa. Jika seandainya jalur trans-Jawa yang menghubungkan Semarang, Solo, dan Surabaya sudah terbangun dan siap dipakai, apakah Solo masih bisa “dekat” dengan Kota Semarang? Apakah dampak pengganda kegiatan ekonomi Kota Solo akan lebih banyak dirasakan Kota Semarang beserta kota-kota yang dilalui tol Semarang-Solo di wilayah Jateng seperti Boyolali, Kota Salatiga, dan Kabupaten Semarang?

Pertanyaan ini muncul terkait sejarah masyarakat dan geomorfologi kota serta daerah sekitarnya yang memiliki hubungan historis dengan Jawa Timur. Ketika Bengawan Solo dimanfaatkan sebagai jalur transportasi Kerajaan Pajang (daerah Boyolali-Klaten sekarang) dan Mataram Islam (sebelum terpecah), masyarakat di hulu Bengawan Solo telah memiliki hubungan perdagangan dengan orang-orang di Gresik dan Surabaya dan daerah-daerah yang dilalui Sungai Bengawan Solo.

Sejarah mencatat, dalam masa jayanya, Pajang memegang hegemoni atas 10 daerah lain yang tersebar di Jateng dan Jatim: wilayah Pajang sendiri (Boyolali-Surakarta-Klaten-Sukoharjo), Surabaya, Tuban, Pati, Pemalang, Tegal, Madiun, Kediri, Banyumas, Kedu, Mataram dan Demak. (Satyana, 2009).

Masa depan

Secara administratif, Kota Solo masuk ke dalam wilayah Jateng. Akan tetapi, secara geografis ditambah dengan kaitan sejarah masa lalu, Kota Solo lebih cenderung ke Jatim dan Yogyakarta daripada ke Kota Semarang. Kaitan sejarah inilah yang harus diantisipasi agar sebagian besar efek pengganda kegiatan ekonomi di Solo tidak lari ke luar Jateng.

Bisa jadi setelah jalur tol Solo-Surabaya yang melewati Ngawi, Kertosono, dan Mojokerto, kegiatan ekonomi Kota Solo akan lebih terseret ke arah timur, seperti ketika Bengawan Solo masih berfungsi sebagai salah satu jalur transportasi. Tidak salah memang jika kegiatan ekonomi Solo cenderung ke arah timur, tetapi lebih baik jika bisa dimanfaatkan wilayah di Jateng.

Harus ada upaya-upaya nyata Pemerintah Provinsi Jateng agar kegiatan ekonomi Kota Solo memberi efek pengganda yang besar bagi perekonomian Jateng, terutama daerah selatan. Salah satu yang bisa dilakukan menjadikan daerah-daerah hinterland sebagai penyokong utama kegiatan ekonomi Kota Surakarta.

Impian menjadi MICE City bagi kota Solo harus dijadikan peluang daerah hinterland seperti Boyolali, Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, dan Klaten untuk menumbuhkan hubungan timbal balik antara hinterland dan pusat pertumbuhan. Integrasi paket wisata bisa menjadi jurus andal dalam menumbuhkan hubungan timbal balik itu.

Seperti paket wisata kota lama Semarang-Ambarawa-Solo bagi turis- turis asing yang hendak melihat peninggalan sejarah Belanda. Wisata kebudayaan Borobudur-Yogyakarta-Prambanan-Solo bisa dijadikan alternatif lain dalam membangun hubungan timbal balik tersebut.

Pemangku kepentingan di Jateng harus benar-benar menjadikan tol Semarang-Solo menjadi Bengawan Solo masa kini yang menghubungkan Solo dengan daerah sekitar dan serta Kota Semarang dengan perencanaan matang sejak dini. Jangan sampai kebesaran Bengawan Solo masa lalu benar-benar menjelma ke dalam tol Solo-Surabaya di masa depan.

*)Pernah dimuat di Rubrik Forum KOMPAS Jawa Tengah, 23/02/2010


Selengkapnya...

Jumat, 09 Juli 2010

"Free Trader Area" Alun-alun Kebumen

Ada gula ada semut. Pepatah ini bisa dianalogikan dengan keberadaan alun-alun di pusat kota Kebumen. Fungsinya sebagai ruang publik, alun-alun Kebumen menjadi tempat yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadikan alun-alun sebagai gula yang menjadi sumber penghidupan bagi banyak pedagang kaki lima.



Penataan alun-alun yang dibarengi dengan pembuatan pusat jajan Kebumen di Jalan Mayjen Sutoyo belum berhasil mempertemukan kehendak pedagang dan Pemerintah Kabupaten Kebumen. Sikap pedagang yang menolak dipindahkan ke Jalan Mayjen Sutoyo (pojok timur laut alun-alun) berbeda dengan keinginan Pemkab Kebumen.

Meskipun dalam proses relokasi Pemkab Kebumen telah menyerahkan berbagai fasilitas, tetap saja kawasan free trader area (kawasan bebas pedagang) di sekitar alun-alun belum terwujud. Padahal, fasilitas yang diberikan oleh Pemkab antara lain bantuan gerobak dan tenda bagi PKL, fasilitas bebas tagihan listrik, PDAM, dan retribusi yang berlaku hingga 31 Desember 2009.

Jika melihat hasil renovasi Alun-alun Kebumen yang telah selesai, pusat kota Kebumen ini telah ditambah fungsinya menjadi taman kota. Hal ini terlihat dari berbagai jenis pohon peneduh yang ditanam di sekeliling alun-alun, jogging track, jalur pedestrian, joglo kecil di pojok timur laut dan barat laut, serta beberapa tempat duduk.

Keberadaan pedagang kaki lima yang menyita ruang pedestrian pastinya akan mengganggu kenyamanan pejalan kaki. Meskipun demikian, keberadaan PKL tidak bisa diabaikan. Pemkab membutuhkan keberadaan PKL untuk menambah PAD-nya melalui retribusi. Begitu juga dengan masyarakat berkepentingan dengan makanan dan berbagai mainan yang dijajakan PKL.

Dengan tertatanya PKL dalam satu tempat, pusat jajan Kebumen akan benar-benar hidup. Kemungkinan pengunjung yang berdatangan bisa bertambah, PAD dari unsur retribusi pun bisa meningkat, sedangkan fungsi alun-alun bagi pedestrian tidak terganggu dengan ketiadaan PKL.

Pemkab mungkin perlu mengeluarkan peraturan bupati atau perda tentang larangan berdagang di sekeliling alun-alun. Hal ini perlu agar fungsi alun-alun bisa sesuai dengan fungsinya, tanpa harus mencaplok hak pihak lain, dalam hal ini masyarakat yang memanfaatkan sekeliling alun-alun sebagai jalur pedestrian dan ruang bermain. Toh jika pengunjung alun-alun lapar atau haus setidaknya mereka akan menyempatkan mampir ke pusat jajan yang berada di depan SMA Negeri 1 hingga depan rumah dinas wakil bupati.

Pernah dimuat di Rubrik Kota Kita, KOMPAS Jawa Tengah, 18 Mei 2010

Ada gula ada semut. Pepatah ini bisa dianalogikan dengan keberadaan alun-alun di pusat kota Kebumen. Fungsinya sebagai ruang publik, alun-alun Kebumen menjadi tempat yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadikan alun-alun sebagai gula yang menjadi sumber penghidupan bagi banyak pedagang kaki lima.



Penataan alun-alun yang dibarengi dengan pembuatan pusat jajan Kebumen di Jalan Mayjen Sutoyo belum berhasil mempertemukan kehendak pedagang dan Pemerintah Kabupaten Kebumen. Sikap pedagang yang menolak dipindahkan ke Jalan Mayjen Sutoyo (pojok timur laut alun-alun) berbeda dengan keinginan Pemkab Kebumen.

Meskipun dalam proses relokasi Pemkab Kebumen telah menyerahkan berbagai fasilitas, tetap saja kawasan free trader area (kawasan bebas pedagang) di sekitar alun-alun belum terwujud. Padahal, fasilitas yang diberikan oleh Pemkab antara lain bantuan gerobak dan tenda bagi PKL, fasilitas bebas tagihan listrik, PDAM, dan retribusi yang berlaku hingga 31 Desember 2009.

Jika melihat hasil renovasi Alun-alun Kebumen yang telah selesai, pusat kota Kebumen ini telah ditambah fungsinya menjadi taman kota. Hal ini terlihat dari berbagai jenis pohon peneduh yang ditanam di sekeliling alun-alun, jogging track, jalur pedestrian, joglo kecil di pojok timur laut dan barat laut, serta beberapa tempat duduk.

Keberadaan pedagang kaki lima yang menyita ruang pedestrian pastinya akan mengganggu kenyamanan pejalan kaki. Meskipun demikian, keberadaan PKL tidak bisa diabaikan. Pemkab membutuhkan keberadaan PKL untuk menambah PAD-nya melalui retribusi. Begitu juga dengan masyarakat berkepentingan dengan makanan dan berbagai mainan yang dijajakan PKL.

Dengan tertatanya PKL dalam satu tempat, pusat jajan Kebumen akan benar-benar hidup. Kemungkinan pengunjung yang berdatangan bisa bertambah, PAD dari unsur retribusi pun bisa meningkat, sedangkan fungsi alun-alun bagi pedestrian tidak terganggu dengan ketiadaan PKL.

Pemkab mungkin perlu mengeluarkan peraturan bupati atau perda tentang larangan berdagang di sekeliling alun-alun. Hal ini perlu agar fungsi alun-alun bisa sesuai dengan fungsinya, tanpa harus mencaplok hak pihak lain, dalam hal ini masyarakat yang memanfaatkan sekeliling alun-alun sebagai jalur pedestrian dan ruang bermain. Toh jika pengunjung alun-alun lapar atau haus setidaknya mereka akan menyempatkan mampir ke pusat jajan yang berada di depan SMA Negeri 1 hingga depan rumah dinas wakil bupati.

Pernah dimuat di Rubrik Kota Kita, KOMPAS Jawa Tengah, 18 Mei 2010

Selengkapnya...

Selasa, 21 Juli 2009

Banyumas Kampung Gurami


JIKA di Boyolali ada kampung lele, maka di Banyumas ada kampung gurami. Sebutan ini pantas disematkan ke Kabupaten Banyumas karena sebagian besar produksi ikan darat di Banyumas didominasi oleh ikan gurami.

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Banyumas 2008 produksi ikan gurami lokal mencapai 1,5 juta kg (sekitar 30 persen) dari total produk perikanan darat Banyumas.

Produksi perikanan darat Banyumas pada 2008 mencapai 4.265 ton. Ini meningkat 22,79 persen jika dibandingkan dengan produksi tahun 2007 yang hanya mencapai 3.473 ton. Pada tahun 2008, dari 4.264 ton produksi ikan, 31,75 persen didominasi oleh produksi ikan gurami (1.355 ton). Jumlah produksi total ikan ini didukung dengan luasan lahan budi daya ikan seluas kurang-lebih 640 ha.

Wajar bila Banyumas menjadi kampung gurami. Selain produksi ikannya yang banyak, wilayah geografis yang strategis di bawah Gunung Slamet menjadikan kawasan Banyumas tercukupi ketersediaan airnya sepanjang tahun. Selain ketersediaan air, jenis tanah, besaran kemiringan tanah dan jenis tanah juga menjadi nilai plus yang dimiliki Banyumas.

Kampung gurami Banyumas akan bertambah ramai jika melihat rata-rata konsumsi ikan masyarakatnya. Saat ini, tingkat konsumsi ikan masyarakat Banyumas masih rendah -baru mencapai 15 kg/ kapita/ tahun, jauh dari standar Badan Ketahanan Pangan Nasional sebesar 32,85 kg/ kapita/ tahun.

Rendahnya tingkat konsumsi ini bisa menjadi peluang dan juga tantangan bagi pemerintah Kabupaten Banyumas dalam meramaikan Banyumas dengan gurami dan jenis ikan lainnya. Peluang yang ada diantaranya besarnya potensi pasar lokal Banyumas sendiri.

Tantangannya adalah bagaimana mewujudkan potensi pasar yang besar tersebut menjadi sebuah pasar yang nyata bagi produk ikan Banyumas. Selain itu juga tantangan agar pemerintah daerah tidak terjebak dalam satu ‘’frame’’ pengembangan ikan gurami saja tanpa memedulikan pengembangan jenis ikan yang lain.

Tantangan Minapolitan Kawasan minapolitan Banyumas telah ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Banyumas No 523/673/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Banyumas No.523/241/2008 tentang Penetapan Lokasi Program Pengembangan Kawasan Minapolitan Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2014. Selain SK Bupati, penetapan Banyumas sebagai minapolitan juga ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan SK No 41/Men/2009 tentang Kawasan Minapolitan.(SM 9/7).

Penetapan kawasan ini telah didahului dengan penetapan 40 kabupaten/ kota lainnya di seluruh Indonesia dengan barbagai ciri dan keunggulan yang melekat pada masing-masing kabupaten/kota. Di Jateng telah ada satu kabupaten yang telah ditetapkan menjadi kawasan minapolitan, yakni Kabupaten Boyolali dengan potensi lelenya yang besar, 10 ton/hari.

Dalam perkembangannya, konsep pengembangan Minapolitan yang berbasis pada pengembangan ikan gurami menemui tantanngan. Minimal ada dua tantangan yang dihadapi oleh Pemkab Banyumas. Pertama, masalah penawaran dan permintaan dan kedua, masalah kualitas dan kuantitas.

Jangan sampai di kemudian hari program minapolitan yang salah satu teknisnya adalah peningkatan produksi ikan, menjadikan ketidakseimbangan supply dan demand menjadi tidak seimbang.

Meningkatnya penawaran yang tidak dibarengi dengan permintaan akan menyebabkan harga komoditas ikan (gurami) jatuh. Jika demikian, maka yang rugi adalah para pembudidaya ikan (pedikan) itu sendiri. Pada 2008, total produksi ikan di Banyumas mencapai 4.265.256 kg.

Dari total produksi ikan tersebut 31,79 persen (1.355.887 kg) merupakan produksi ikan gurami, 29,90 persen (1.275.334 kg) produksi ikan tawes, 13,34 persen (568.872 kg) produksi ikan nilem, 9,92 persen (422.999 kg) produksi ikan karper, 6,69 persen (285.221 kg) ikan karper, 1,48 persen (63.230 kg) ikan bawal dan 6,89 persen (293.713 kg) jenis ikan lainnya (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas 2009).

Jika dihitung untuk memenuhi standar pola konsumsi ikan yang ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional sebesar 32,85 kg/ kapita/ tahun, masih dibutuhkan tambahan produksi menjadi sekitar 59 ribu ton/tahun dari tingkat produksi tahun 2008 yang baru mencapai 5 ribu ton/tahun.

Agar permintaan dan penawaran ikan di masa mendatang tidak timpang, sejak sekarang pihak Pemkab Banyumas harus meningkatkan usaha peningkatan gemar makan ikan masyarakat Banyumas yang masih rendah. Misalnya mewajibkan setiap rumah makan di Banyumas menyediakan menu ikan.

Dari Hulu ke Hilir Saat ini, banyak yang hanya membudidayakan telurnya saja. Setelah itu, telur gurami dijual ke luar kota, seperti Tulungagung dan bahkan Pekanbaru. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka usaha peningkatan produksi ikan, khususnya gurami, akan tersendat.

Dan tidak jarang banyak warga Jakarta yang suka makan ikan gurami, hanya tahu kalau ikan gurami yang mereka makan berasal dari Tulungagung, Jawa Timur. Penyebab para pedikan tidak mau membesarkan telur gurami hingga siap panen dikarenakan rentang waktu yang panjang, bisa mencapai 1 tahun.

Karena dikelola dengan manajemen yang masih konvensional dan modal yang tidak kuat, para pedikan akan kesulitan untuk membudidayakan telur gurami mereka hingga besar. Di sisi lain mereka juga memerlukan perputaran modal yang cepat agar keuntungan yang diperoleh bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.

Di sepuluh kecamatan tersebut akan dikembangkan empat sentra pengembangan kawasan, yakni sentra kawasan pembenihan (berpusat di Kecamatan Kedungbanteng), sentra kawasan pembesaran (berpusat di Kecamatan Sokaraja), sentra kawasan pemasaran (berpusat di Kecamatan Ajibarang) serta sentra kawasan industri olahan (berpusat di Kecamatan Sumpiuh).

Yang menjadi pertanyaan, apakah diversifikasi produksi ikan (khususnya gurami) yang tercermin dalam pembagian empat sentra kawasan minapolitan bisa berhasil? Waktu akan menjawabnya.


Pernah dimuat di Wacana Lokal Harian Umum Suara Merdeka, 18 Juli 2009


JIKA di Boyolali ada kampung lele, maka di Banyumas ada kampung gurami. Sebutan ini pantas disematkan ke Kabupaten Banyumas karena sebagian besar produksi ikan darat di Banyumas didominasi oleh ikan gurami.

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Banyumas 2008 produksi ikan gurami lokal mencapai 1,5 juta kg (sekitar 30 persen) dari total produk perikanan darat Banyumas.

Produksi perikanan darat Banyumas pada 2008 mencapai 4.265 ton. Ini meningkat 22,79 persen jika dibandingkan dengan produksi tahun 2007 yang hanya mencapai 3.473 ton. Pada tahun 2008, dari 4.264 ton produksi ikan, 31,75 persen didominasi oleh produksi ikan gurami (1.355 ton). Jumlah produksi total ikan ini didukung dengan luasan lahan budi daya ikan seluas kurang-lebih 640 ha.

Wajar bila Banyumas menjadi kampung gurami. Selain produksi ikannya yang banyak, wilayah geografis yang strategis di bawah Gunung Slamet menjadikan kawasan Banyumas tercukupi ketersediaan airnya sepanjang tahun. Selain ketersediaan air, jenis tanah, besaran kemiringan tanah dan jenis tanah juga menjadi nilai plus yang dimiliki Banyumas.

Kampung gurami Banyumas akan bertambah ramai jika melihat rata-rata konsumsi ikan masyarakatnya. Saat ini, tingkat konsumsi ikan masyarakat Banyumas masih rendah -baru mencapai 15 kg/ kapita/ tahun, jauh dari standar Badan Ketahanan Pangan Nasional sebesar 32,85 kg/ kapita/ tahun.

Rendahnya tingkat konsumsi ini bisa menjadi peluang dan juga tantangan bagi pemerintah Kabupaten Banyumas dalam meramaikan Banyumas dengan gurami dan jenis ikan lainnya. Peluang yang ada diantaranya besarnya potensi pasar lokal Banyumas sendiri.

Tantangannya adalah bagaimana mewujudkan potensi pasar yang besar tersebut menjadi sebuah pasar yang nyata bagi produk ikan Banyumas. Selain itu juga tantangan agar pemerintah daerah tidak terjebak dalam satu ‘’frame’’ pengembangan ikan gurami saja tanpa memedulikan pengembangan jenis ikan yang lain.

Tantangan Minapolitan Kawasan minapolitan Banyumas telah ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Banyumas No 523/673/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Banyumas No.523/241/2008 tentang Penetapan Lokasi Program Pengembangan Kawasan Minapolitan Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2014. Selain SK Bupati, penetapan Banyumas sebagai minapolitan juga ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan SK No 41/Men/2009 tentang Kawasan Minapolitan.(SM 9/7).

Penetapan kawasan ini telah didahului dengan penetapan 40 kabupaten/ kota lainnya di seluruh Indonesia dengan barbagai ciri dan keunggulan yang melekat pada masing-masing kabupaten/kota. Di Jateng telah ada satu kabupaten yang telah ditetapkan menjadi kawasan minapolitan, yakni Kabupaten Boyolali dengan potensi lelenya yang besar, 10 ton/hari.

Dalam perkembangannya, konsep pengembangan Minapolitan yang berbasis pada pengembangan ikan gurami menemui tantanngan. Minimal ada dua tantangan yang dihadapi oleh Pemkab Banyumas. Pertama, masalah penawaran dan permintaan dan kedua, masalah kualitas dan kuantitas.

Jangan sampai di kemudian hari program minapolitan yang salah satu teknisnya adalah peningkatan produksi ikan, menjadikan ketidakseimbangan supply dan demand menjadi tidak seimbang.

Meningkatnya penawaran yang tidak dibarengi dengan permintaan akan menyebabkan harga komoditas ikan (gurami) jatuh. Jika demikian, maka yang rugi adalah para pembudidaya ikan (pedikan) itu sendiri. Pada 2008, total produksi ikan di Banyumas mencapai 4.265.256 kg.

Dari total produksi ikan tersebut 31,79 persen (1.355.887 kg) merupakan produksi ikan gurami, 29,90 persen (1.275.334 kg) produksi ikan tawes, 13,34 persen (568.872 kg) produksi ikan nilem, 9,92 persen (422.999 kg) produksi ikan karper, 6,69 persen (285.221 kg) ikan karper, 1,48 persen (63.230 kg) ikan bawal dan 6,89 persen (293.713 kg) jenis ikan lainnya (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas 2009).

Jika dihitung untuk memenuhi standar pola konsumsi ikan yang ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional sebesar 32,85 kg/ kapita/ tahun, masih dibutuhkan tambahan produksi menjadi sekitar 59 ribu ton/tahun dari tingkat produksi tahun 2008 yang baru mencapai 5 ribu ton/tahun.

Agar permintaan dan penawaran ikan di masa mendatang tidak timpang, sejak sekarang pihak Pemkab Banyumas harus meningkatkan usaha peningkatan gemar makan ikan masyarakat Banyumas yang masih rendah. Misalnya mewajibkan setiap rumah makan di Banyumas menyediakan menu ikan.

Dari Hulu ke Hilir Saat ini, banyak yang hanya membudidayakan telurnya saja. Setelah itu, telur gurami dijual ke luar kota, seperti Tulungagung dan bahkan Pekanbaru. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka usaha peningkatan produksi ikan, khususnya gurami, akan tersendat.

Dan tidak jarang banyak warga Jakarta yang suka makan ikan gurami, hanya tahu kalau ikan gurami yang mereka makan berasal dari Tulungagung, Jawa Timur. Penyebab para pedikan tidak mau membesarkan telur gurami hingga siap panen dikarenakan rentang waktu yang panjang, bisa mencapai 1 tahun.

Karena dikelola dengan manajemen yang masih konvensional dan modal yang tidak kuat, para pedikan akan kesulitan untuk membudidayakan telur gurami mereka hingga besar. Di sisi lain mereka juga memerlukan perputaran modal yang cepat agar keuntungan yang diperoleh bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.

Di sepuluh kecamatan tersebut akan dikembangkan empat sentra pengembangan kawasan, yakni sentra kawasan pembenihan (berpusat di Kecamatan Kedungbanteng), sentra kawasan pembesaran (berpusat di Kecamatan Sokaraja), sentra kawasan pemasaran (berpusat di Kecamatan Ajibarang) serta sentra kawasan industri olahan (berpusat di Kecamatan Sumpiuh).

Yang menjadi pertanyaan, apakah diversifikasi produksi ikan (khususnya gurami) yang tercermin dalam pembagian empat sentra kawasan minapolitan bisa berhasil? Waktu akan menjawabnya.


Pernah dimuat di Wacana Lokal Harian Umum Suara Merdeka, 18 Juli 2009

Selengkapnya...

Minggu, 10 Mei 2009

Mencari Pemimpin Bervisi Keadilan Sosial

Bangsa Indonesia kini sedang berada di dalam proses pencarian pemimpin baru. Seorang pemimpin yang harus memiliki visi dan misi keadilan social. Sebuah keadilan sosial yang merata dan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Itulah yang diamanatkan oleh Pancasila yang telah disepakati bersama sebagai dasar Negara Indonesia.

Sejarah mencatat, semenjak kemerdekaan negeri ini belum pernah ada pemimpin yang berhasil mewujudkan visi dan misi keadilan sosial. Yang ada hanyalah catatan di atas kertas yang tidak pernah berhasil terlihat implementasinya di masyarakat.

Di zaman Soekarno, dengan kondisi keamanan dan politik dalam negeri yang labil pasca perang kemerdekaan membuat cita-cita berdikari hanya tinggal kenangan. Cita-cita berdikari di bidang ekonomi, politik serta kebudayaan sebagai adopsi dari swadesi Ghandi, hingga saat ini cita-cita sila kelima Pancasila masih jauh panggang dari api.

Berakhirnya kepemimpinan Soekarno yang digantikan Soeharto pada waktu itu memberikan secercah harapan akan terwujudnya sila ke lima Pancasila. Dengan adopsi teori pembangunan Rostow, menjalankan tahap-tahap pembangunan nasional dengan PELITA-nya. Jargon pemerintah yang berbunyi “menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” menjadi semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya.

Tapi resesi ekonomi yang melanda Indoensia tahun 1997 memupuskan cita-cita bangsa ketika kita berada pada fase take-off dari teori pembangunannya Rostow. Liberalisasi sektor moneter dengan Pakto 88, hutang luar negeri yang semakin menumpuk serta besarnya komponen import indsutri dalam negeri merupakan salah satu faktor pendorong parahnya krisis moneter 1997 yang bermula dari Thailand.

Sekarang, sisa-sisa krisis 1997 hingga kini masih terasa. Terbatasnya dana pemerintah untuk membangun sektor infrastruktur sebagai salah satu sektor yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu contohnya.

Infrastructur summit yang diselenggarakan oleh pemerintah pada tahun 2005 dan 2006 hingga saat ini dari 91 proyek yang ditawarkan, sampai kini baru 4 yang sudah beroperasi, sementara 9 proyek dalam tahap konstruksi. Pada penyelenggaraan Pertemuan puncak infrastruktur (Infrastructure Summit) 2005 dan 2006, harapan besar menjaring investor global digantungkan. Animo investor memang sangat besar, tetapi ternyata justru pemerintah sendiri yang tak siap (Kompas, 24/04/09).

Tatanan ekonomi politik yang belum stabil dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para reformis 98, menjadikan Indonesia berat untuk menjalankan visi jangka panjangnya. Seperti kembali ke masa orde lama, prioritas bangsa saat ini adalah menata kehidupan politik dengan harapan bisa menjadi fondasi kuat bagi proses pembangunan bidang ekonomi serta bidang yang lainnya. Tapi sampai kapan?

Visi 2030

Ketika bangsa ini memperingati satu abad kebangkitan nasional, tahun 2008 lalu, dicanangkan sebuah visi Indonesia 2030. Empat pencapaian yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah pertama, Indonesia masuk dalam lima besar ekonomi dunia bersama China, India, AS, dan Uni Eropa. Kedua, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk ke dalam daftar 500 perushaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang baik dan keempat, terwujudnya kualitas hidup yang modern dan merata. Poin terakhir dari empat pencapaian diatas mencerminkan sebuah visi membangun masyarakat yang didalamnya terdapat visi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Pastinya tidak mudah untuk mewujudkan visi tersebut. Kemiskinan, ketidakberdayaan mengelola sumber daya alam menggunakan tangan sendiri, keterbelakangan dalam bidang pendidikan yang menghinggapi sebagian besar rakyat Indonesia serta berbagai permasalahan lainnya merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika tidak segera ditangani, niscaya visi 2030 atau kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan terwujud.

Perlu kerja keras seluruh elemen bangsa ini agar pencapaian visi kesejahteraan sosial bisa terwujud dengan baik. Kerja keras yang pastinya akan membutuhkan pengorbanan yang besar baik waktu, tenaga, harta, dan bahkan jiwa.

Negarawan

Yang terpenting adalah adanya sosok pemimpin yang bisa menjadi sosok negarawan. Negarawan memiliki level lebih tinggi dari seorang pemimpin parpol, politikus, pengusaha dan bahkan seorang presiden. Negarawan adalah adalah sosok manusia yang memiliki curahan hati, jiwa, pikiran, serta raga yang besar terhadap negaranya.

Memiliki visi jauh ke depan tentang apa yang menjadi kebutuhan bangsanya, integritas, tidak takut hidup mlarat, etika yang baik, dan yang pastinya tidak egois mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, baik karena terpaksa maupun tidak.

Yang menjadi pertanyaan adalah adakah sosok negarawan saat ini ? Jawabannya tidak, setidaknya sosok yang memiliki level seperti Gajah Mada. Atau seperti Sjahrir, Hatta dan Natsir. Dimasa ketika segalanya harus menggunakan uang, sangatlah sulit mencari sosok seorang negarawan. Yang ada hanyalah politikus yang memiliki topeng emas negarawan. Jika demikian adanya, maka janganlah bangsa ini berharap akan kemunculan sosok negarawan.

Yang menjadi tuntutan bagi kita semua, rakyat Indonesia, adalah menjadi negarawan bagi diri sendiri. Negarawan yang akan menjadikan tindak tanduk kita dalam sehari-hari jauh dari kemunafikan. Jika demikian, maka bangsa ini akan dipenuhi negarawan-negarawan kecil. Mungkinkah? Mungkin. Karena di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, everything is possible.

Dimuat di Koran Sore Wawasan, 7 Mei 2009

Bangsa Indonesia kini sedang berada di dalam proses pencarian pemimpin baru. Seorang pemimpin yang harus memiliki visi dan misi keadilan social. Sebuah keadilan sosial yang merata dan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Itulah yang diamanatkan oleh Pancasila yang telah disepakati bersama sebagai dasar Negara Indonesia.

Sejarah mencatat, semenjak kemerdekaan negeri ini belum pernah ada pemimpin yang berhasil mewujudkan visi dan misi keadilan sosial. Yang ada hanyalah catatan di atas kertas yang tidak pernah berhasil terlihat implementasinya di masyarakat.

Di zaman Soekarno, dengan kondisi keamanan dan politik dalam negeri yang labil pasca perang kemerdekaan membuat cita-cita berdikari hanya tinggal kenangan. Cita-cita berdikari di bidang ekonomi, politik serta kebudayaan sebagai adopsi dari swadesi Ghandi, hingga saat ini cita-cita sila kelima Pancasila masih jauh panggang dari api.

Berakhirnya kepemimpinan Soekarno yang digantikan Soeharto pada waktu itu memberikan secercah harapan akan terwujudnya sila ke lima Pancasila. Dengan adopsi teori pembangunan Rostow, menjalankan tahap-tahap pembangunan nasional dengan PELITA-nya. Jargon pemerintah yang berbunyi “menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” menjadi semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya.

Tapi resesi ekonomi yang melanda Indoensia tahun 1997 memupuskan cita-cita bangsa ketika kita berada pada fase take-off dari teori pembangunannya Rostow. Liberalisasi sektor moneter dengan Pakto 88, hutang luar negeri yang semakin menumpuk serta besarnya komponen import indsutri dalam negeri merupakan salah satu faktor pendorong parahnya krisis moneter 1997 yang bermula dari Thailand.

Sekarang, sisa-sisa krisis 1997 hingga kini masih terasa. Terbatasnya dana pemerintah untuk membangun sektor infrastruktur sebagai salah satu sektor yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu contohnya.

Infrastructur summit yang diselenggarakan oleh pemerintah pada tahun 2005 dan 2006 hingga saat ini dari 91 proyek yang ditawarkan, sampai kini baru 4 yang sudah beroperasi, sementara 9 proyek dalam tahap konstruksi. Pada penyelenggaraan Pertemuan puncak infrastruktur (Infrastructure Summit) 2005 dan 2006, harapan besar menjaring investor global digantungkan. Animo investor memang sangat besar, tetapi ternyata justru pemerintah sendiri yang tak siap (Kompas, 24/04/09).

Tatanan ekonomi politik yang belum stabil dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para reformis 98, menjadikan Indonesia berat untuk menjalankan visi jangka panjangnya. Seperti kembali ke masa orde lama, prioritas bangsa saat ini adalah menata kehidupan politik dengan harapan bisa menjadi fondasi kuat bagi proses pembangunan bidang ekonomi serta bidang yang lainnya. Tapi sampai kapan?

Visi 2030

Ketika bangsa ini memperingati satu abad kebangkitan nasional, tahun 2008 lalu, dicanangkan sebuah visi Indonesia 2030. Empat pencapaian yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah pertama, Indonesia masuk dalam lima besar ekonomi dunia bersama China, India, AS, dan Uni Eropa. Kedua, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk ke dalam daftar 500 perushaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang baik dan keempat, terwujudnya kualitas hidup yang modern dan merata. Poin terakhir dari empat pencapaian diatas mencerminkan sebuah visi membangun masyarakat yang didalamnya terdapat visi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Pastinya tidak mudah untuk mewujudkan visi tersebut. Kemiskinan, ketidakberdayaan mengelola sumber daya alam menggunakan tangan sendiri, keterbelakangan dalam bidang pendidikan yang menghinggapi sebagian besar rakyat Indonesia serta berbagai permasalahan lainnya merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika tidak segera ditangani, niscaya visi 2030 atau kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan terwujud.

Perlu kerja keras seluruh elemen bangsa ini agar pencapaian visi kesejahteraan sosial bisa terwujud dengan baik. Kerja keras yang pastinya akan membutuhkan pengorbanan yang besar baik waktu, tenaga, harta, dan bahkan jiwa.

Negarawan

Yang terpenting adalah adanya sosok pemimpin yang bisa menjadi sosok negarawan. Negarawan memiliki level lebih tinggi dari seorang pemimpin parpol, politikus, pengusaha dan bahkan seorang presiden. Negarawan adalah adalah sosok manusia yang memiliki curahan hati, jiwa, pikiran, serta raga yang besar terhadap negaranya.

Memiliki visi jauh ke depan tentang apa yang menjadi kebutuhan bangsanya, integritas, tidak takut hidup mlarat, etika yang baik, dan yang pastinya tidak egois mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, baik karena terpaksa maupun tidak.

Yang menjadi pertanyaan adalah adakah sosok negarawan saat ini ? Jawabannya tidak, setidaknya sosok yang memiliki level seperti Gajah Mada. Atau seperti Sjahrir, Hatta dan Natsir. Dimasa ketika segalanya harus menggunakan uang, sangatlah sulit mencari sosok seorang negarawan. Yang ada hanyalah politikus yang memiliki topeng emas negarawan. Jika demikian adanya, maka janganlah bangsa ini berharap akan kemunculan sosok negarawan.

Yang menjadi tuntutan bagi kita semua, rakyat Indonesia, adalah menjadi negarawan bagi diri sendiri. Negarawan yang akan menjadikan tindak tanduk kita dalam sehari-hari jauh dari kemunafikan. Jika demikian, maka bangsa ini akan dipenuhi negarawan-negarawan kecil. Mungkinkah? Mungkin. Karena di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, everything is possible.

Dimuat di Koran Sore Wawasan, 7 Mei 2009 Selengkapnya...

Minggu, 03 Mei 2009

KEGAGALAN TRANSORTASI PUBLIK SEMARANG

Rencana pengoperasian bus rapid transit di Kota Semarang yang sedianya akan dioperasikan pada Januari 2009 ditunda hingga Mei 2009. Penundaan ini terkait dengan belum siapnya infrastruktur pendukung BRT seperti halte, armada bus, dan operasional lapangan. Pengoperasian BRT di Semarang, seperti di Jakarta (Trans-Jakarta), Yogyakarta (Trans-Jogja) dan Bogor (Trans-Pakuan) mempunyai tujuan agar warga meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan BRT yang notabene merupakan angkutan umum.

Dengan terwujudnya tujuan itu diharapkan di Kota Semarang tidak akan terjadi kemacetan parah di masa mendatang. Kemacetan, seperti halnya di Jakarta, merupakan persoalan berat yang harus ditanggung seluruh warga kota. Dari kemacetan inilah, timbul berbagai efek negatif, stres para pengguna jalan, polusi udara yang semakin meningkat, serta timbulnya high cost economy. Kondisi tersebut memiliki implikasi negatif terhadap aktivitas ekonomi sebuah kota, bahkan negara. Hal ini dikarenakan banyak pusat produksi barang dan jasa berada di kota-kota besar.

Setiap kebijakan yang berasal dari pemerintah pasti mengundang pro dan kontra. Begitupun dengan rencana pengoperasian BRT di Semarang. Pihak yang pro adalah mereka pengguna angkutan umum seperti pelajar, buruh pabrik, dan karyawan.

Mereka yang kontra adalah awak angkutan serta pengusaha angkutan. Alasannya jelas mengapa banyak awak angkutan dan pengusaha angkutan merasa keberatan akan rencana pengoperasian BRT di Kota Semarang, yaitu pendapatan akan berkurang. Bagi awak angkutan, hal ini jelas akan memberatkan target mereka dalam mengejar setoran. Dengan "seretnya" setoran, pengusaha akan kelabakan. Apalagi, hingga saat ini banyak komponen suku cadang armada yang harganya mahal.

Keberatan atas rencana pengoperasian BRT di Semarang jelas ditunjukkan oleh para awak angkutan dan pengusaha yang berada di trayek Mangkang-Penggaron. Sebagaimana diketahui, trayek Mangkang- Penggaron juga menjadi koridor I BRT yang pertama kali akan dioperasikan.

Keberatan atas pengoperasian BRT ini ditanggapi oleh pemkot dengan dikeluarkannya tawaran pembentukan konsorsium kepada pengusaha angkutan. Mungkin bagi pengusaha angkutan hal ini bisa diterima, tetapi belum tentu bagi para awak angkutan. Jika tawaran konsorsium diterima para pengusaha, mau ke mana para awak angkutan yang sebelumnya sudah eksis?

Memang kompleks permasalahan yang ditimbulkan dari sebuah kemacetan kota. Bertambahnya kendaraan pribadi merupakan representasi dari dinamika ekonomi masyarakat. Sedangkan pertambahan panjang jalan sebagai barang publik merupakan representasi dinamika pemerintah, birokrasi, dan teknokratnya. Ketidakseimbangan antara dua dinamika tersebut akan mengakibatkan kemacetan. Di Indonesia, solusi untuk mengatasi kemacetan sebelum diperkenalkannya transportasi publik BRT dengan dibangunnya jalan layang, underpass, jalan lingkar, dan pembangunan jalan tol.

Tidak ada jenis kebijakan yang benar-benar mementingkan aspek jangka panjang yang intinya adalah mengerem pertumbuhan kendaraan, seperti pembatasan kendaraan pribadi, pajak tinggi bagi mobil impor atau mewah, dan yang paling penting pembangunan sarana transportasi publik yang memenuhi standar pelayanan baik yang mementingkan aspek keselamatan, keterjangkauan, dan kenyamanan. Ketiadaan kebijakan ini dampaknya sudah bisa dirasakan hari ini. Kemacetan parah seperti di Jakarta segera akan merembet ke kota besar lain di Indonesia, termasuk juga Semarang. Pengelolaan penyediaan transportasi umum oleh swasta disertai lemahnya institusi pemerintah dalam menyiapkan regulasi serta pengawasan terhadap penyelenggaraan angkutan umum perkotaan telah menjadikan pengelolaan transportasi memiliki siklus pengelolaan, swasta-pemerintah-swasta. Pembentukan konsorsium

Siklus itulah yang sekarang terjadi di Kota Semarang dan hampir semua kota di Indonsia. Pada awal 1980-an hingga awal 1990-an, jasa angkutan umum di perkotaan di Indonesia banyak diselenggarakan oleh pemerintah melalui Damri. Saat ini, penyediaan jasa angkutan umum perkotaan di Indonesia lebih banyak didominasi swasta atau individu. Ketika swasta sudah gagal menyelenggarakan angkutan umum, giliran pemerintah yang akan mengambil alih penyelenggaraan angkutan umum perkotaan.

Akankah fenomena ini terjadi di Semarang serta kota-kota besar lainnya di Indonesia? Entahlah. Tapi yang jelas, pengoperasin BRT di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor serta akan disusul oleh Semarang menunjukkan fenomena tersebut. Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan sebuah angkutan perkotaan yang aman, nyaman, dan terjangkau semua golongan, kita patut memberikan dukungan. Namun, yang menjadi catatan penting bagaimana antisipasi terhadap siklus pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi berulang di masa mendatang.

Jika siklus swasta-pemerintah-swasta dalam pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi lagi di masa mendatang, pastinya akan ada biaya ekonomi, politik, dan sosial yang harus di tanggung bersama warga kota. Jika hal tersebut terjadi lagi di masa mendatang, ini membuktikan pemerintah belum lagi bisa mengaplikasikan kebijakan publik yang baik, terutama di bidang angkutan perkotaan.

Jangan sampai kondisi di Semarang terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Perlu adanya sebuah pemecahan bersama atas solusi angkutan perkotaan yang baik. Jika memang siklus pengelolaan angkutan perkotaan bergilir kepada pemerintah, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan yang bisa mengakomodasi semua stakeholder di dalam penyelenggaraan angkutan perkotaan.

Seperti pembentukan konsorsium yang memiliki sifat pengelolaan seperti koperasi. Selain itu, menggandeng perbankan syariah juga bisa menjadi alternatif pembiayaan dalam meremajakan armada yang dimiliki swasta untuk dimasukkan ke dalam konsorsium. Seperti diketahui, banyak dana perbankan, baik konvensional dan syariah yang tidak bisa terserap dalam kegiatan perekonomian dan hanya menganggur di Bank Indonesia. Bagaimanapun juga angkutan perkotaan akan selalu memberikan revenue yang terus-menerus dan bahkan meningkat seiring dengan pelayanan yang baik.

Rusli Abdulah Alumnus Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang

(Dimuat di Kompas Lembar Jawa Tengah,. Kamis, 9 April 2009)

Rencana pengoperasian bus rapid transit di Kota Semarang yang sedianya akan dioperasikan pada Januari 2009 ditunda hingga Mei 2009. Penundaan ini terkait dengan belum siapnya infrastruktur pendukung BRT seperti halte, armada bus, dan operasional lapangan. Pengoperasian BRT di Semarang, seperti di Jakarta (Trans-Jakarta), Yogyakarta (Trans-Jogja) dan Bogor (Trans-Pakuan) mempunyai tujuan agar warga meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan BRT yang notabene merupakan angkutan umum.

Dengan terwujudnya tujuan itu diharapkan di Kota Semarang tidak akan terjadi kemacetan parah di masa mendatang. Kemacetan, seperti halnya di Jakarta, merupakan persoalan berat yang harus ditanggung seluruh warga kota. Dari kemacetan inilah, timbul berbagai efek negatif, stres para pengguna jalan, polusi udara yang semakin meningkat, serta timbulnya high cost economy. Kondisi tersebut memiliki implikasi negatif terhadap aktivitas ekonomi sebuah kota, bahkan negara. Hal ini dikarenakan banyak pusat produksi barang dan jasa berada di kota-kota besar.

Setiap kebijakan yang berasal dari pemerintah pasti mengundang pro dan kontra. Begitupun dengan rencana pengoperasian BRT di Semarang. Pihak yang pro adalah mereka pengguna angkutan umum seperti pelajar, buruh pabrik, dan karyawan.

Mereka yang kontra adalah awak angkutan serta pengusaha angkutan. Alasannya jelas mengapa banyak awak angkutan dan pengusaha angkutan merasa keberatan akan rencana pengoperasian BRT di Kota Semarang, yaitu pendapatan akan berkurang. Bagi awak angkutan, hal ini jelas akan memberatkan target mereka dalam mengejar setoran. Dengan "seretnya" setoran, pengusaha akan kelabakan. Apalagi, hingga saat ini banyak komponen suku cadang armada yang harganya mahal.

Keberatan atas rencana pengoperasian BRT di Semarang jelas ditunjukkan oleh para awak angkutan dan pengusaha yang berada di trayek Mangkang-Penggaron. Sebagaimana diketahui, trayek Mangkang- Penggaron juga menjadi koridor I BRT yang pertama kali akan dioperasikan.

Keberatan atas pengoperasian BRT ini ditanggapi oleh pemkot dengan dikeluarkannya tawaran pembentukan konsorsium kepada pengusaha angkutan. Mungkin bagi pengusaha angkutan hal ini bisa diterima, tetapi belum tentu bagi para awak angkutan. Jika tawaran konsorsium diterima para pengusaha, mau ke mana para awak angkutan yang sebelumnya sudah eksis?

Memang kompleks permasalahan yang ditimbulkan dari sebuah kemacetan kota. Bertambahnya kendaraan pribadi merupakan representasi dari dinamika ekonomi masyarakat. Sedangkan pertambahan panjang jalan sebagai barang publik merupakan representasi dinamika pemerintah, birokrasi, dan teknokratnya. Ketidakseimbangan antara dua dinamika tersebut akan mengakibatkan kemacetan. Di Indonesia, solusi untuk mengatasi kemacetan sebelum diperkenalkannya transportasi publik BRT dengan dibangunnya jalan layang, underpass, jalan lingkar, dan pembangunan jalan tol.

Tidak ada jenis kebijakan yang benar-benar mementingkan aspek jangka panjang yang intinya adalah mengerem pertumbuhan kendaraan, seperti pembatasan kendaraan pribadi, pajak tinggi bagi mobil impor atau mewah, dan yang paling penting pembangunan sarana transportasi publik yang memenuhi standar pelayanan baik yang mementingkan aspek keselamatan, keterjangkauan, dan kenyamanan. Ketiadaan kebijakan ini dampaknya sudah bisa dirasakan hari ini. Kemacetan parah seperti di Jakarta segera akan merembet ke kota besar lain di Indonesia, termasuk juga Semarang. Pengelolaan penyediaan transportasi umum oleh swasta disertai lemahnya institusi pemerintah dalam menyiapkan regulasi serta pengawasan terhadap penyelenggaraan angkutan umum perkotaan telah menjadikan pengelolaan transportasi memiliki siklus pengelolaan, swasta-pemerintah-swasta. Pembentukan konsorsium

Siklus itulah yang sekarang terjadi di Kota Semarang dan hampir semua kota di Indonsia. Pada awal 1980-an hingga awal 1990-an, jasa angkutan umum di perkotaan di Indonesia banyak diselenggarakan oleh pemerintah melalui Damri. Saat ini, penyediaan jasa angkutan umum perkotaan di Indonesia lebih banyak didominasi swasta atau individu. Ketika swasta sudah gagal menyelenggarakan angkutan umum, giliran pemerintah yang akan mengambil alih penyelenggaraan angkutan umum perkotaan.

Akankah fenomena ini terjadi di Semarang serta kota-kota besar lainnya di Indonesia? Entahlah. Tapi yang jelas, pengoperasin BRT di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor serta akan disusul oleh Semarang menunjukkan fenomena tersebut. Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan sebuah angkutan perkotaan yang aman, nyaman, dan terjangkau semua golongan, kita patut memberikan dukungan. Namun, yang menjadi catatan penting bagaimana antisipasi terhadap siklus pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi berulang di masa mendatang.

Jika siklus swasta-pemerintah-swasta dalam pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi lagi di masa mendatang, pastinya akan ada biaya ekonomi, politik, dan sosial yang harus di tanggung bersama warga kota. Jika hal tersebut terjadi lagi di masa mendatang, ini membuktikan pemerintah belum lagi bisa mengaplikasikan kebijakan publik yang baik, terutama di bidang angkutan perkotaan.

Jangan sampai kondisi di Semarang terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Perlu adanya sebuah pemecahan bersama atas solusi angkutan perkotaan yang baik. Jika memang siklus pengelolaan angkutan perkotaan bergilir kepada pemerintah, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan yang bisa mengakomodasi semua stakeholder di dalam penyelenggaraan angkutan perkotaan.

Seperti pembentukan konsorsium yang memiliki sifat pengelolaan seperti koperasi. Selain itu, menggandeng perbankan syariah juga bisa menjadi alternatif pembiayaan dalam meremajakan armada yang dimiliki swasta untuk dimasukkan ke dalam konsorsium. Seperti diketahui, banyak dana perbankan, baik konvensional dan syariah yang tidak bisa terserap dalam kegiatan perekonomian dan hanya menganggur di Bank Indonesia. Bagaimanapun juga angkutan perkotaan akan selalu memberikan revenue yang terus-menerus dan bahkan meningkat seiring dengan pelayanan yang baik.

Rusli Abdulah Alumnus Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang

(Dimuat di Kompas Lembar Jawa Tengah,. Kamis, 9 April 2009)

Selengkapnya...

Rabu, 21 Januari 2009

APBN 2009 DAN KRISIS FINANSIAL GLOBAL

Tahun 2009 menjadi tahun yang terasa berat bagi perekonomian Indonesia. Dampak krisis global yang berpangkal pada kredit macet di Amerika diprediksikan akan sangat terasa pada pertengahan tahun 2009. Menurunnya order ekspor Indonesia ke Amerika yang berujung pada PHK di dalam negeri telah menjadikan ancaman serius pada bertambahnya pengangguran di Indonesia. Kondisi ini tentunya akan mengancam kinerja perekonomian yang mengancam pembentukan GDP dan pertumbuhan ekonomi.

Volatilitas kurs rupiah terhadap dollar Amerika yang tidak stabil dan cenderung memperlemah nilai rupiah terhadap dollar sebagai dampak terguncangnya pasar keuangan dunia juga menjadi ancaman bagi perekonomian Indonesia. Nilai rupiah yang mencapai 11.000 per satu dollar, jelas akan memperlemah posisi Indonesia dalam perdagangan internasional. Ekspor yang menurun dan kebutuhan impor yang cenderung stabil akan menguras cadangan devisa nasional.

Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap asumsi-asumsi yang menjadi dasar penyusunan APBN 2009. RAPBN yang dirancang semenjak tahun 2008 telah mengalami perombakan total. Pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 6 persen, dirubah menjadi 5 persen. Angka ini mengacu pada ramalan ekstrem pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,5 persen dan 4,5 persen.

Asumsi nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika juga dirubah. Dari semula 9.200 rupiah per dollar menjadi 11.000 rupiah. Defisit anggaran yang semula sebesar 1 persen dari GDP menjadi 2,5 persen atau naik dari Rp 51,3 triliun menjadi Rp 132 triliun. sumsi harga minyak mentah dirubah dari yang dulunya 85 dollar per barrel, diturunkan menjadi 45 dolar per barrel. Untuk pendapatan negara yang semula sebesar Rp 985,7 triliun menjadi Rp 857,7 triliun. Asumsi inilah yang menyebabkan defisit APBN berubah menjadi 2,5 persen.

Perubahan deisit ini akan menjadi beban pemerintah pastinya. Ketika penerimaan negara terancam turun dikarenakan krisis finansial global, disisi lain pemerintah memiliki kewajiban-kewajiban yang tetap. Langkah pemerintah menerbitkan SUN dinilai tepat. Jelas hal inilah yang bisa dilakukan, selain memanfaatkan instrumen utang lainnya seperti penerbitan SUKUK dan memanfaatkan standby loan yang sekarang ada sekitar US$ 5 miliar. Standby loan ini merupakan hasil negosiasi pemerintah terhadap lembaga keungan internasional seperti IDB dan ADB serta beberapa negara maju untuk menyediakan dananya apabila Indonesia benar-benar membutuhkan dengan tingkat bunga yang rendah jika dibandingkan dengan jenis pinjaman lainnya.

Cara Lain

Besarnya defisit APBN dan ancaman turunnya pendapatan negara terkait krisis finansial global, jelas mengancam kestabilan perekonomian nasional. Meskipun ancaman tersebut bisa ditutupi dengan hutang, tetap saja perilaku hutang tidaklah bisa dibenarkan seratus persen.

Penyerapan APBN tahun 2008 yang tidak maksimal merupakan tanda mengapa perilaku hutang dalam menutupi defisit APBN harus dikaji ulang. Hal ini menunjukkan beberapa indikasi. Pertama, tidak efisiennya APBN nasional, sehingga penyerapan dalam bentuk berbagai proyek tidak maksimal. Kedua, takutnya para pejabat pemerintah menjadi pimpro (pimpinan proyek) terhadap ketatnya aturan keuangan saat ini serta ketatnya pengawasan KPK dan BPK yang bisa berujung pada jeruji besi.

Kedua permasalahan tersebut, perlu dibenahi. Momentum tahun 2009 sebagai tahun kreatif yang dicanangkan oleh presiden SBY seharusnya menjadikan bagaimana APBN 2009 bisa dimanafaatkan seefektif dan seefisien mungkin. Dengan adanya pencanangan tahun kreatif ini, maka tidak ada alasan bagi rendahnya penyerapan APBN. Penyerapan APBN sangat diperlukan secepat dan setepat mungkin agar terwujud multiplier efek ekonomi yang tinggi. Jangan sampai kejadian tahun 2008 terulang kembali. Penyerapan anggaran belanja yang terlambat yang menjadikan departemen-departemen membelanjakan anggarannya untuk iklan layanan masyarakat dan seminar-seminar di akhir tahun.

Tahun 2009 menjadi tahun yang terasa berat bagi perekonomian Indonesia. Dampak krisis global yang berpangkal pada kredit macet di Amerika diprediksikan akan sangat terasa pada pertengahan tahun 2009. Menurunnya order ekspor Indonesia ke Amerika yang berujung pada PHK di dalam negeri telah menjadikan ancaman serius pada bertambahnya pengangguran di Indonesia. Kondisi ini tentunya akan mengancam kinerja perekonomian yang mengancam pembentukan GDP dan pertumbuhan ekonomi.

Volatilitas kurs rupiah terhadap dollar Amerika yang tidak stabil dan cenderung memperlemah nilai rupiah terhadap dollar sebagai dampak terguncangnya pasar keuangan dunia juga menjadi ancaman bagi perekonomian Indonesia. Nilai rupiah yang mencapai 11.000 per satu dollar, jelas akan memperlemah posisi Indonesia dalam perdagangan internasional. Ekspor yang menurun dan kebutuhan impor yang cenderung stabil akan menguras cadangan devisa nasional.

Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap asumsi-asumsi yang menjadi dasar penyusunan APBN 2009. RAPBN yang dirancang semenjak tahun 2008 telah mengalami perombakan total. Pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 6 persen, dirubah menjadi 5 persen. Angka ini mengacu pada ramalan ekstrem pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,5 persen dan 4,5 persen.

Asumsi nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika juga dirubah. Dari semula 9.200 rupiah per dollar menjadi 11.000 rupiah. Defisit anggaran yang semula sebesar 1 persen dari GDP menjadi 2,5 persen atau naik dari Rp 51,3 triliun menjadi Rp 132 triliun. sumsi harga minyak mentah dirubah dari yang dulunya 85 dollar per barrel, diturunkan menjadi 45 dolar per barrel. Untuk pendapatan negara yang semula sebesar Rp 985,7 triliun menjadi Rp 857,7 triliun. Asumsi inilah yang menyebabkan defisit APBN berubah menjadi 2,5 persen.

Perubahan deisit ini akan menjadi beban pemerintah pastinya. Ketika penerimaan negara terancam turun dikarenakan krisis finansial global, disisi lain pemerintah memiliki kewajiban-kewajiban yang tetap. Langkah pemerintah menerbitkan SUN dinilai tepat. Jelas hal inilah yang bisa dilakukan, selain memanfaatkan instrumen utang lainnya seperti penerbitan SUKUK dan memanfaatkan standby loan yang sekarang ada sekitar US$ 5 miliar. Standby loan ini merupakan hasil negosiasi pemerintah terhadap lembaga keungan internasional seperti IDB dan ADB serta beberapa negara maju untuk menyediakan dananya apabila Indonesia benar-benar membutuhkan dengan tingkat bunga yang rendah jika dibandingkan dengan jenis pinjaman lainnya.

Cara Lain

Besarnya defisit APBN dan ancaman turunnya pendapatan negara terkait krisis finansial global, jelas mengancam kestabilan perekonomian nasional. Meskipun ancaman tersebut bisa ditutupi dengan hutang, tetap saja perilaku hutang tidaklah bisa dibenarkan seratus persen.

Penyerapan APBN tahun 2008 yang tidak maksimal merupakan tanda mengapa perilaku hutang dalam menutupi defisit APBN harus dikaji ulang. Hal ini menunjukkan beberapa indikasi. Pertama, tidak efisiennya APBN nasional, sehingga penyerapan dalam bentuk berbagai proyek tidak maksimal. Kedua, takutnya para pejabat pemerintah menjadi pimpro (pimpinan proyek) terhadap ketatnya aturan keuangan saat ini serta ketatnya pengawasan KPK dan BPK yang bisa berujung pada jeruji besi.

Kedua permasalahan tersebut, perlu dibenahi. Momentum tahun 2009 sebagai tahun kreatif yang dicanangkan oleh presiden SBY seharusnya menjadikan bagaimana APBN 2009 bisa dimanafaatkan seefektif dan seefisien mungkin. Dengan adanya pencanangan tahun kreatif ini, maka tidak ada alasan bagi rendahnya penyerapan APBN. Penyerapan APBN sangat diperlukan secepat dan setepat mungkin agar terwujud multiplier efek ekonomi yang tinggi. Jangan sampai kejadian tahun 2008 terulang kembali. Penyerapan anggaran belanja yang terlambat yang menjadikan departemen-departemen membelanjakan anggarannya untuk iklan layanan masyarakat dan seminar-seminar di akhir tahun.

Selengkapnya...

Sabtu, 20 Desember 2008

RENCANA PENGOPERASIAN BUS RAPID TRANSIT


KONDISI transportasi publik di Kota Semarang dari waktu ke waktu tidak bertambah baik, bahkan cenderung memburuk. Hal itu bisa dilihat dari pelayanan transportasi publik yang kurang memerhatikan aspek keselamatan, kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu.

Pengesampingan aspek-aspek itulah, yang mengakibatkan semakin banyaknya kendaraan pribadi —baik mobil maupun sepeda motor— yang memadati jalan raya di Kota Semarang.

Kondisi tersebut menjadikan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang mengeluarkan kebijakan pengoperasian BRT (Bus Rapid Transit) sebagai salah satu solusi untuk menyediakan sarana transportasi publik yang baik.

Rencana pengoperasian BRT yang rencananya akan dimulai pada awal 2009, di mata Pemkot Semarang dipandang sebagai salah satu solusi penyediaan transportasi publik yang baik. Namun hal itu tidak berlaku bagi stakeholders yang lain, seperti para pengusaha angkutan, awak angkutan, petugas timer angkot, serta masyarakat pengguna jasa transportasi itu sendiri.

Dengan dioperasikannya BRT, bisa jadi pendapatan awak serta pengusaha angkutan berkurang, terutama di jalur yang nantinya akan dilewati BRT. Bisa pula warga Kota Semarang enggan menggunakan BRT.

Dengan tiket Rp 3.000 untuk setiap trip, biaya yang dikeluarkan masih lebih murah jika menggunakan sepeda motor. Jadi, apakah BRT sebuah solusi untuk memperbaiki kondisi transportasi publik yang buruk di Kota Semarang? Jawabannya, belum tentu.


Akar Permasalahan

Tujuan yang ingin dicapai oleh Pemkot Semarang berkait dengan kandisi transportasi publik perkotaan yang semakin memburuk adalah memperbaikinya. Dengan kondisi transportasi publik perkotaan yang buruk, warga kota akan enggan memanfaatkannya. Dengan memperbaikinya, diharapkan warga kota akan memanfaatkannya.

Permasalahan utama yang muncul di dalam sektor transportasi publik di Kota Semarang dan hampir berlaku umum di kota-kota besar dan kecil diseluruh Indonesia adalah ketidaknyamanan, ketidakterjangkauan (cenderung mahal), serta terabaikannya aspek keselamatan dan keamanan.

Keempat aspek tersebut bisa dijadikan sebagai tolok ukur sederhana untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi transportasi publik. Jika aspek-aspek tersebut tidak terpenuhi, bisa dipastikan masyarakat akan cenderung meninggalkan transportasi publik sebagai sarana penunjang aktivitas keseharian mereka. Lalu yang terjadi di lapangan adalah aspek-aspek tersebut hampir semua tidak bisa terpenuhi dalam penyediaan transportasi publik di kota-kota besar dan kecil di Indonesia.

Ada satu penyebab yang menurut saya adalah suatu hal yang sangat krusial dan perlu segera dibenahi, yakni berlakunya sistem kejar setoran. Sistem kejar setoran yang berlaku umum di dalam penyelenggaraan transportasi publik, terutama angkutan kota, akan mengakibatkan aspek kenyamanan, keterjangkauan, keselamatan, dart keamanan yang seharusnya dinomorsatukan dikesampingkan.

Beban nilai setoran yang dibebankan kepada awak angkutan oleh pengusaha (juragan) setiap harinya akan mengakibatkan para awak angkutan tidak akan begitu peduli dengan aspek-aspek pokok penyelenggaraan transportasi publik yang baik.

Ketepatan waktu menjadi terabaikan, ketika sopir ngetem terlalu lama dengan alasan angkot belum penuh yang bisa menjadikan setoran tidak bisa dipenuhi. Keselamatan penumpang akan terabaikan ketika para sopir kebut-kebutan memperebutkan para penumpang. Alasannya jelas, agar penghasilannya bertambah, setoran pun bisa tertutupi.

Pengoperasian BRT bukanlah merupakan solusi yang tepat. Harga tiket masih dinilai mahal, tidak terlayaninya seluruh trayek, dan kekhawatiran penurunan pendapatan para awak dan pengusaha angkutan. Jika hal itu terjadi, jelas pengusaha dan awak angkutan akan menjadi terpinggirkan. Pengangguran pun bisa bertambah.

Yang diperlukan oleh Pemkot Semarang adalah bagaimana agar penyediaan transportasi publik bisa memenuhi standar keselamatan, kenyamanan, ketepatan waktu dan keterjangkauan. Ditambah, tanpa harus mengorbankan keberadaan para awak dan pengusaha angkutan yang ada. Pengoperasian BRT jelas belum meng-cover semua kepentingan stakeholder yang ada.

Solusi

Yang bisa dilakukan oleh Pemkot Semarang adalah membantu menghilangkan sistem kejar setoran yang berlaku di dalam penyelenggaraan transportasi publik oleh pihak swasta. Peniadaan sistem itu akan terasa memberatkan bagi para pengusaha angkutan. Hal itu dikarenakan oleh biaya tetap (fixed cost) yang harus ditanggung oleh pengusaha angkutan untuk mengoperasikan moda angkutannya setiap hari. Dengan penghapusan sistem kejar setoran, dikhawatirkan biaya tetap tidak bisa tertutupi, dikarenakan oleh tidak adanya pemasukan pasti yang berasal dari para awak angkutan.

Untuk menggantinya, sistem kejar setoran bisa diganti dengan sistem bagi hasil. Dengan sistem itu, maka para awak angkutan tidak lagi memiliki beban tanggungan setoran setiap hari. Tanggung jawab awak angkutan adalah menyediakan pelayanan transportasi publik yang baik, sehingga keselamatan, kenyamanan, dan ketepatan waktu bisa terwujud.

Harapan terbesarnya adalah warga Kota Semarang bisa beralih ke angkutan umum dan meninggalkan kendaraan pribadinya.Dengan semakin banyak masyarakat yang menggunakan angkutan umum, biaya tetap pengoperasian moda angkutan akan tertutupi. Seandainya tidak, tetap bisa diusahakan dengan dana subsidi dari pemerintah, yang salah satunya bisa diambil dari pos subsidi bahan bakar minyak

(Pernah dimuat di Wacana Lokal, Harian Umum Suara Merdeka, 25 November 2008)


KONDISI transportasi publik di Kota Semarang dari waktu ke waktu tidak bertambah baik, bahkan cenderung memburuk. Hal itu bisa dilihat dari pelayanan transportasi publik yang kurang memerhatikan aspek keselamatan, kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu.

Pengesampingan aspek-aspek itulah, yang mengakibatkan semakin banyaknya kendaraan pribadi —baik mobil maupun sepeda motor— yang memadati jalan raya di Kota Semarang.

Kondisi tersebut menjadikan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang mengeluarkan kebijakan pengoperasian BRT (Bus Rapid Transit) sebagai salah satu solusi untuk menyediakan sarana transportasi publik yang baik.

Rencana pengoperasian BRT yang rencananya akan dimulai pada awal 2009, di mata Pemkot Semarang dipandang sebagai salah satu solusi penyediaan transportasi publik yang baik. Namun hal itu tidak berlaku bagi stakeholders yang lain, seperti para pengusaha angkutan, awak angkutan, petugas timer angkot, serta masyarakat pengguna jasa transportasi itu sendiri.

Dengan dioperasikannya BRT, bisa jadi pendapatan awak serta pengusaha angkutan berkurang, terutama di jalur yang nantinya akan dilewati BRT. Bisa pula warga Kota Semarang enggan menggunakan BRT.

Dengan tiket Rp 3.000 untuk setiap trip, biaya yang dikeluarkan masih lebih murah jika menggunakan sepeda motor. Jadi, apakah BRT sebuah solusi untuk memperbaiki kondisi transportasi publik yang buruk di Kota Semarang? Jawabannya, belum tentu.


Akar Permasalahan

Tujuan yang ingin dicapai oleh Pemkot Semarang berkait dengan kandisi transportasi publik perkotaan yang semakin memburuk adalah memperbaikinya. Dengan kondisi transportasi publik perkotaan yang buruk, warga kota akan enggan memanfaatkannya. Dengan memperbaikinya, diharapkan warga kota akan memanfaatkannya.

Permasalahan utama yang muncul di dalam sektor transportasi publik di Kota Semarang dan hampir berlaku umum di kota-kota besar dan kecil diseluruh Indonesia adalah ketidaknyamanan, ketidakterjangkauan (cenderung mahal), serta terabaikannya aspek keselamatan dan keamanan.

Keempat aspek tersebut bisa dijadikan sebagai tolok ukur sederhana untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi transportasi publik. Jika aspek-aspek tersebut tidak terpenuhi, bisa dipastikan masyarakat akan cenderung meninggalkan transportasi publik sebagai sarana penunjang aktivitas keseharian mereka. Lalu yang terjadi di lapangan adalah aspek-aspek tersebut hampir semua tidak bisa terpenuhi dalam penyediaan transportasi publik di kota-kota besar dan kecil di Indonesia.

Ada satu penyebab yang menurut saya adalah suatu hal yang sangat krusial dan perlu segera dibenahi, yakni berlakunya sistem kejar setoran. Sistem kejar setoran yang berlaku umum di dalam penyelenggaraan transportasi publik, terutama angkutan kota, akan mengakibatkan aspek kenyamanan, keterjangkauan, keselamatan, dart keamanan yang seharusnya dinomorsatukan dikesampingkan.

Beban nilai setoran yang dibebankan kepada awak angkutan oleh pengusaha (juragan) setiap harinya akan mengakibatkan para awak angkutan tidak akan begitu peduli dengan aspek-aspek pokok penyelenggaraan transportasi publik yang baik.

Ketepatan waktu menjadi terabaikan, ketika sopir ngetem terlalu lama dengan alasan angkot belum penuh yang bisa menjadikan setoran tidak bisa dipenuhi. Keselamatan penumpang akan terabaikan ketika para sopir kebut-kebutan memperebutkan para penumpang. Alasannya jelas, agar penghasilannya bertambah, setoran pun bisa tertutupi.

Pengoperasian BRT bukanlah merupakan solusi yang tepat. Harga tiket masih dinilai mahal, tidak terlayaninya seluruh trayek, dan kekhawatiran penurunan pendapatan para awak dan pengusaha angkutan. Jika hal itu terjadi, jelas pengusaha dan awak angkutan akan menjadi terpinggirkan. Pengangguran pun bisa bertambah.

Yang diperlukan oleh Pemkot Semarang adalah bagaimana agar penyediaan transportasi publik bisa memenuhi standar keselamatan, kenyamanan, ketepatan waktu dan keterjangkauan. Ditambah, tanpa harus mengorbankan keberadaan para awak dan pengusaha angkutan yang ada. Pengoperasian BRT jelas belum meng-cover semua kepentingan stakeholder yang ada.

Solusi

Yang bisa dilakukan oleh Pemkot Semarang adalah membantu menghilangkan sistem kejar setoran yang berlaku di dalam penyelenggaraan transportasi publik oleh pihak swasta. Peniadaan sistem itu akan terasa memberatkan bagi para pengusaha angkutan. Hal itu dikarenakan oleh biaya tetap (fixed cost) yang harus ditanggung oleh pengusaha angkutan untuk mengoperasikan moda angkutannya setiap hari. Dengan penghapusan sistem kejar setoran, dikhawatirkan biaya tetap tidak bisa tertutupi, dikarenakan oleh tidak adanya pemasukan pasti yang berasal dari para awak angkutan.

Untuk menggantinya, sistem kejar setoran bisa diganti dengan sistem bagi hasil. Dengan sistem itu, maka para awak angkutan tidak lagi memiliki beban tanggungan setoran setiap hari. Tanggung jawab awak angkutan adalah menyediakan pelayanan transportasi publik yang baik, sehingga keselamatan, kenyamanan, dan ketepatan waktu bisa terwujud.

Harapan terbesarnya adalah warga Kota Semarang bisa beralih ke angkutan umum dan meninggalkan kendaraan pribadinya.Dengan semakin banyak masyarakat yang menggunakan angkutan umum, biaya tetap pengoperasian moda angkutan akan tertutupi. Seandainya tidak, tetap bisa diusahakan dengan dana subsidi dari pemerintah, yang salah satunya bisa diambil dari pos subsidi bahan bakar minyak

(Pernah dimuat di Wacana Lokal, Harian Umum Suara Merdeka, 25 November 2008)

Selengkapnya...